Palu, VoxNusantara,- Wakil Kepala Kejaksaan Tinggi Sulawesi Tengah, Zullikar Tanjung, S.H., M.H., didampingi oleh Asisten Pidana Umum (Aspidum) Kejati Sulteng, Fithrah, S.H., M.H., kembali memimpin ekspose penghentian penuntutan berdasarkan prinsip Restorative Justice. Ekspose ini dilakukan secara virtual bersama Direktur Oharda pada Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Umum (Jampidum) Kejaksaan Agung.
Dalam ekspose tersebut, terdapat tiga perkara yang diajukan untuk dihentikan penuntutannya. Dua perkara berasal dari Kejaksaan Negeri Donggala, sementara satu perkara lainnya dari Kejaksaan Negeri Morowali Utara.
Perkara dari Kejaksaan Negeri Donggala
Perkara pertama melibatkan tersangka Adi Sakti alias Adi yang didakwa melanggar Pasal 362 KUHP tentang pencurian. Kasus ini bermula saat Adi mendatangi rumah korban, Evarianti alias Eva, dengan maksud menagih utang suami korban. Karena korban tidak berada di rumah, Adi kemudian menyuruh saksi Imran alias Uwo (yang dituntut dalam perkara terpisah) untuk membawa sepeda motor milik korban tanpa sepengetahuan korban.
Perkara kedua masih terkait dengan tersangka Imran alias Uwo, yang bertindak sebagai eksekutor dalam kasus ini. Ia membawa sepeda motor korban sesuai perintah Adi Sakti. Kedua perkara ini memiliki korban yang sama dan melibatkan pasal yang sama, yakni Pasal 362 KUHP.
Perkara dari Kejaksaan Negeri Morowali Utara
Perkara ketiga melibatkan tersangka Selvi Salim alias Epi, seorang ibu dengan empat anak yang sehari-hari bekerja mencari kerang sungai untuk membantu suaminya yang bekerja sebagai buruh harian lepas. Ia didakwa melanggar Pasal 351 ayat (1) KUHP tentang penganiayaan. Insiden terjadi ketika tersangka merasa tersinggung oleh perkataan korban, Nila Hipy alias Nila, hingga akhirnya meluapkan emosinya dengan menampar korban.
Pertimbangan Restorative Justice
Dalam meninjau ketiga perkara tersebut, Kejaksaan mempertimbangkan adanya kesepakatan damai antara tersangka dan korban serta kondisi sosial yang perlu dipulihkan. Pendekatan Restorative Justice menjadi pilihan utama untuk menghindari dampak sosial yang lebih besar serta mengembalikan keseimbangan hukum dan sosial tanpa harus mengorbankan masa depan individu yang terjerat kasus hukum ringan.
Pendekatan ini sejalan dengan semangat keadilan yang tidak hanya menjadikan hukum sebagai alat penjeraan, tetapi juga sebagai sarana pemulihan bagi masyarakat. Dengan penghentian penuntutan ini, diharapkan para tersangka dapat kembali ke masyarakat tanpa stigma, memperbaiki kesalahan, dan melanjutkan hidup dengan lebih baik.
Restorative Justice menitikberatkan pada pemulihan hubungan antara pelaku, korban, dan masyarakat sehingga keadilan dapat tercapai tanpa harus selalu berujung pada pemidanaan. *