Jakarta,voxnusantara.com- Jaksa Agung melalui Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (JAM-Pidum) Dr. Fadil Zumhana, Selasa (17/01/23) menyetujui 6 permohonan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif.
Enam permohonan tersebut yakni, tersangka Arron Syah Malik alias Arron dari Kejaksaan Negeri Minahasa Selatan yang disangka melanggar Pasal 80 Ayat (1) Undang-Undang RI Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang RI Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menjadi Undang-Undang RI dan Pasal 351 Ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan.
Selanjutnya, tersangka Geviandri Satria Bayu Makatempuge dari Kejaksaan Negeri Kepulauan Sangihe yang disangka melanggar Pasal 360 Ayat (1) KUHP subsidair Pasal 360 Ayat (2) KUHP tentang Kelalaian yang Menyebabkan Luka Berat.
“Ada juga tersangka Ceacar Masinambow alias Cesar dari Kejaksaan Negeri Minahasa Selatan yang disangka melanggar Pasal 351 Ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan, tersangka Shaleh Mokhan alias Sebe dari Kejaksaan Negeri Halmahera Tengah yang disangka melanggar Pasal 351 Ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan,” ungkap Kepala Pusat Penerangan Hukum Dr. Ketut Sumedana, melalui rilis resminnya.
Selanjutnya, kata Dr. Ketut, tersangka Roni Ramdani bin Komarudin dari Kejaksaan Negeri Garut yang disangka melanggar Pasal 362 KUHP tentang Pencurian dan tersangka Iksan Permana bin Muslih dari Kejaksaan Negeri Sumedang yang disangka melanggar Pasal 480 ke-1 KUHP tentang Penadahan.
“Alasan pemberian penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif ini diberikan antara lain; telah dilaksanakan proses perdamaian, dimana Tersangka telah meminta maaf dan korban sudah memberikan permohonan maaf, tersangka belum pernah dihukum, tersangka baru pertama kali melakukan perbuatan pidana, ancaman pidana denda atau penjara tidak lebih dari 5 (lima) tahun dan tersangka berjanji tidak akan lagi mengulangi perbuatannya,” jelasnya.
Selanjutnya, kata dia, proses perdamaian dilakukan secara sukarela dengan musyawarah untuk mufakat, tanpa tekanan, paksaan, dan intimidasi, tersangka dan korban setuju untuk tidak melanjutkan permasalahan ke persidangan karena tidak akan membawa manfaat yang lebih besar, pertimbangan sosiologis dan masyarakat merespon positif.
“JAM-Pidum memerintahkan kepada Para Kepala Kejaksaan Negeri untuk menerbitkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKP2) Berdasarkan Keadilan Restoratif sesuai Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 dan Surat Edaran JAM-Pidum Nomor: 01/E/EJP/02/2022 tanggal 10 Februari 2022 tentang Pelaksanaan Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif sebagai perwujudan kepastian hukum,” tandasnya.***