Palu, VoxNusantara,- Komitmen Kejaksaan Tinggi Sulawesi Tengah (Kejati Sulteng) dalam menegakkan hukum dengan pendekatan humanis kembali ditunjukkan melalui penghentian penuntutan tiga perkara pidana berdasarkan prinsip keadilan restoratif.
Plt. Kepala Kejati Sulteng, Zullikar Tanjung, S.H., M.H., didampingi Aspidum Fithrah, S.H., M.H., memimpin langsung ekspose secara virtual bersama Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum Kejaksaan Agung Republik Indonesia dan jajarannya. Kegiatan ini berlangsung di Aula Vicon, lantai 3 Kantor Kejati Sulteng, Senin (7/7/2025).
Tiga perkara yang dihentikan penuntutannya berasal dari Kejaksaan Negeri Morowali Utara, Kejari Morowali, dan Kejari Palu. Ketiganya dinilai memenuhi syarat untuk diselesaikan di luar jalur persidangan formal demi pemulihan hubungan sosial dan keadilan yang lebih substantif.
1. Kasus Penggelapan Dana di Perusahaan Tambang

Perkara pertama melibatkan tersangka Muhammad Tamsil alias Cilo, Foreman HRGA di PT Gunung Wangi Nikelindo (anak perusahaan Everde Group), yang diduga menggelapkan dana operasional perusahaan sebesar Rp28,18 juta. Meski awalnya mengajukan dana operasional hingga total Rp47,8 juta, sebagian dana tersebut digunakan untuk kepentingan pribadi.
Namun, tersangka yang baru pertama kali terjerat hukum ini telah mengembalikan seluruh kerugian kepada perusahaan. Melalui kuasa hukum, pihak manajemen perusahaan menyatakan permohonan damai dan memilih penyelesaian secara kekeluargaan. Kejaksaan pun menghentikan penuntutan karena unsur pemulihan telah tercapai dan tidak ditemukan potensi residivisme.
2. Perusakan Pintu karena Kesal Tak Diberi Uang Berobat
Perkara kedua datang dari Morowali. Seorang pria bernama Rinto dilaporkan kakaknya sendiri setelah memukul pintu kamar kos menggunakan besi berbentuk palu karena emosi permintaannya untuk biaya berobat tidak dipenuhi.
Kerusakan yang ditimbulkan bersifat ringan, dan hubungan kekeluargaan yang sempat renggang kini telah kembali pulih. Tersangka juga belum pernah memiliki catatan kriminal. Korban secara sukarela memaafkan dan menyatakan tidak ingin melanjutkan perkara ke ranah hukum. Proses mediasi berjalan dengan lancar dan menghasilkan kesepakatan damai, sehingga Kejaksaan memutuskan menghentikan penuntutan.
3. Dugaan Pencemaran Nama Baik Antar Tokoh Publik
Perkara ketiga cukup menarik perhatian publik karena melibatkan dua tokoh masyarakat, H. Abdullah Batalipu, S.Sos., M.M., dan Adriwawan MS. Husen, S.H., yang diduga mencemarkan nama baik mantan Bupati Buol, Amran H.A. Batalipu, S.E., M.M., melalui pernyataan dalam konferensi pers saat mereka masih menjabat.
Pernyataan yang dianggap menyerang kehormatan korban itu dinilai tidak sesuai fakta hukum. Namun, dalam proses restorative justice, korban menyampaikan permohonan damai secara lisan dan tertulis di hadapan jaksa. Mengingat para pihak memiliki pengaruh besar di masyarakat, penyelesaian damai ini juga dinilai penting untuk mencegah konflik sosial yang lebih luas.
Melalui ketiga perkara ini, Kejati Sulteng menegaskan bahwa penghentian penuntutan berbasis keadilan restoratif bukanlah bentuk pengabaian hukum, tetapi bagian dari wajah baru penegakan hukum yang lebih mengedepankan nurani, keadilan substantif, dan pemulihan sosial.
“Penegakan hukum tidak melulu soal sanksi pidana, tetapi juga soal bagaimana kita memulihkan hubungan, menjaga harmoni, dan memberi keadilan yang sesungguhnya kepada masyarakat,” ujar Plt. Kajati Zullikar Tanjung dalam keterangannya.
Langkah ini juga sejalan dengan semangat reformasi birokrasi Kejaksaan RI untuk membangun kepercayaan publik dan menjadikan institusi kejaksaan sebagai pelindung kepentingan masyarakat, bukan sekadar penegak hukum formal. *
Sumber: Humas Kejati Sulteng