Jakarta,voxnusantara.com- Kejahatan seksual terhadap Anak Baru Gede (ABG) di Kabupaten Parigi Moutong (Parimo) Sulawesi Tengah, menuai pro kontra dalam penggunaan istilah Perkosaan dengan istilah Persetubuhan terhadap anak.
Ahli Pskilogi Forensik Dr. Reza Indragiri Amriel, S.Psi., M.Crim ikut angkat bicara, Ia menerangkan ada dua hal yang perlu kita sorot, pertama terkait penggunaan istilah persetubuhan dengan anak, karena ini merupakan kasus anak, maka kita tidak punya pilihan mengedepankan undang-undang perlindungan anak sebagai acuan utama.
“Kalau kita buka sejak halaman pertama hingga halaman akhir, undang-undang perlindungan anak memang tidak ada kata pemerkosaan sama sekali yang ada adalah kata persetubuhan dengan anak,” jelas Reza, via rilis yang diterima redaksi media ini.
lantas, katanya, dimana kita bisa temukan kata pemerkosaan sebut? pertama kita bisa temukan di dalam undang-undang tindak pidana kekerasan seksual, persoalannya adalah didalam undang-undang TPKS sama sekali tidak ada definisi tentang pemerkosaan, definisi tentang pemerkosaan adanya di dalam KUHP.
Dosen PTIK itu juga menjelaskan, bahwa pemerkosaan menurut KUHP harus disertai dengan kekerasan atau ancaman kekerasan. Jadi bayangkan andaikan ada persetubuhan dengan anak yang tidak disertai dengan kekerasan atau ancaman kekerasan maka sesudah pasal pemerkosaan tidak bisa diterapkan.
“Oleh karena itu menurut saya terkait dengan penggunaan istilah persetubuhan dengan anak oleh pihak Polda Sulawesi Tengah 100 Persen tepat,” tegasnya.
Persoalan yang kedua, ujar Reza, terkait dengan kemungkinan adanya kemauan atau keinginan atau kehendak dari korban, mari kita tinjau dari sudut pandang hukum, dari sudut pandang hukum kita tutup mata terhadap kondisi batin anak, apakah anak mau atau tidak mau, berkehendak atau tidak berkehendak, setuju atau tidak setuju, bersepakat atau tidak bersepakat, tetap saja anak yang maaf anak yang sudah disetubuhi diposisikan sebagai korban, sementara pihak yang menyetubuhi anak diposisikan sebagai pelaku, tidak ada kompromi terkait itu dari sudut pandang hukum.
Sementara, lanjut dia, dari sudut pandang psikologi, penting bagi kita untuk memahami bahwa subjek yang kita perbincangkan bukanlah balita, subjek yang kita perbincangkan adalah seorang remaja anak berumur 16 tahun yang notabene sudah melewati usia puberitas.
Reza mengungkapkan ketika anak-anak sudah memasuki usia puberitas maka secara umum pada anak-anak tersebut sudah ada ketertarikan, sudah ada keinginan, sudah ada hasrat bahkan tempo-tempo jika tidak terbimbing secara tepat anak akan bisa melakukan eksperimentasi seksual.
Dengan kata lain pada remaja berusia 16 tahun, sebut Reza, tubuhnya sudah mulai bisa merasakan adanya sensasi-sensasi seksual, sehingga apakah ada kemungkinan bahwa seorang remaja usia 16 tahun memiliki keinginan untuk melakukan aktivitas seksual, dari sudut pandang psikologis kita tidak bisa abaikan itu.
“Kendati diasumsikan bahwa anak ternyata punya kehendak untuk melakukan aktivitas seksual namun tidak kemudian menggugurkan posisi anak sebagai korban mutlak berdasarkan sudut pandang hukum undang-undang perlindungan anak,” pungkasnya. (***)