Hukum  

Pencabutan HGB PT. SPM dan PT. SW Tidak Memiliki Alas Hak dan Bukti Penguasaan Fisik

Kuasa Hukum PT SPM dan PT SW, Syahlan Lamporo.,SH.,MH.,CTA.,C.CLP melakukan konferensi pers di salah satu rumah makan di Kota Palu, Selasa (16/9/25)

Palu,VoxNusantara.com- Kuasa Hukum PT SPM dan PT SW, Syahlan Lamporo.,SH.,MH.,CTA.,C.CLP menerangnan bahwa pencabutan terhadap tanah Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) PT Sinar Putra Murni (SPM) dan PT Sinar Waluyo (SW) tidak memiliki alas hak (surat) dan bukti penguasaan fisik. Hal ini diutarakan Syahlan menanggapi tuntutan demo yang meminta HGB PT. SPM dan PT. SW dicabut.

Kuasa hukum PT. SPM dab PT. SW didampingi Direktur PT SPM dan PT SW Abdul Rozak dalam keterangannya mengatakan bahwa demo yang dilakukan masyarakat pada Rabu (10/9/25) itu merupakan hal yang biasa di alam demokrasi saat ini dalam mengeluarkan pendapat.

“Namun, disini kami ingin menjelaskan terhadap adanya tuntutan pencabutan HGB, karena dianggap bahwa PT SPM dan PT SW telah melakukan perampasan tanah milik Masyarakat,” katanya disalah satu rumah makan yang ada di Kota Palu, Selasa (16/9/25) saat konferensi pers bersama awak media.

Pada kesempatan itu, Syahlan menjelaskan secara rinci bahwa awal dikeluarkannya sertipikat HGB tersebut yakni pada tahun 1989. Pada tahun 1989 tanah tersebut adalah hutan dan tidak ada bukti penguasaan atau kegiatan masyarakat dilahan itu. Dan pada tahun tersebut kita ketahui sendiri, tanah tersebut belum memiliki nilai ekonomis dan sosial sehingga tidak ada yang tertarik dengan lahan tersebut.

Maka, kata Syahlan, dengan masuknya Perseroan di kota Palu sejak tahun 1989, atas permintaan gubernur Sulawesi Tengah yang saat itu dijabat oleh Abdul Aziz Lamadjido, membutuhkan investor di bidang perumahan untuk menanamkan modalnya di Kota Palu.

Maka agar pembagunan di kota Palu dapat terlihat PT. SPM dan PT. SW diminta untuk menginvestasikan dananya di kota Palu dengan melakukan pembagunan property.

“Saat itu pihak perusahaan menerima keinginan gubernur dengan pembagunan perumahan BTN pertama di Sulawesi Tengah, khusus kota Palu yang dikenal dengan nama BTN Korpri Bumi Roviga Tondo. Inilah perusahaan yang pertama membangun BTN, saat kondisi belum punya akses. Sekarang dampaknya sangat positif. Sudah ramai. Masyarakat harus melihat dengan objektif perusahaan tidak pernah merampas hak orang lain, tapi melalui prosedur hukum yang panjang,” jelasnya.

Olehnya, Ia menilai tuntutan masyarakat ini terjadi karena kurang pahamnya walikota Palu, Hadianto Rasyid, SE tentang UU pokok Agraria dengan mengeluarkan Surat Keputusan (SK) pemberian tanah melalaui pengusulan Program Pendaftaran Tanah Sistematis (PTSL) terhadap warga masyarakat yang tidak memilik hubungan hukum dengan tanah Perseroan.

“Tidak ada hubungan hukum masyarakat dengan tanah tersebut,” ujarnya.

Sedangkan saat disinggung soal berakhirnya HGB, Syahlan menjelaskan bahwa berakhirnya HGB tidak serta merta menghilangkan hak keperdataan Perseroan terhadap tanah tersebut.

“Karena dalam PP nomor 18 tahun 2021 sangat jelas mengatakan “tanah yang telah berakhir jangka waktunya akan kembali dikuasai negara jika pihak pemegang hak lama tidak melakukan perpanjangan atau pemanfaatan Kembali tanah tersebut. Selain itu dalam PP tersebut, kepada pemegang hak lama HGB yang masih melakukan perpanjangan tetap diberikan hak prioritas dalam proses perpanjangannya,” ungkap Syahlan.

Senada dengan itu, Direktur PT SPM dan PT SW Abdul Rozak menambahkan, bahwa dalam PP nomor 18 tahun 2021, pasal 2 ayat (1) dan (3) huruf g secara eksplisit mengatakan ayat (1) Tanah Negara atau Tanah yang Dikuasai Langsung oleh Negara merupakan seluruh bidang Tanah di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang tidak dipunyai dengan sesuatu hak oleh pihak lain.

“Ayat (3) huruf g Tanah Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: g. Tanah hak yang berakhir jangka waktunya serta tidak dimohon Perpanjangan dan/atau Pembaruan,” ungkapnya.

Mereka juga menilai Walikota Hadianto Rasyid tidak memahami UU agraria bahwa berakhirnya jangka waktu sertipikat HGB tidak serta merta menghilangkan hak keperdataan, dengan adanya hak prioritas kepada Perseroan selama tanah tersebut masih diusahakan dan dimanfaatkan dengan baik sesuai dengan keadaan, sifat, dan tujuan pemberian hak.

Kata Rozak apalagi saat ini Perseroan sedang melakukan Pembangunan 180 unit rumah di Lokasi sertipikat HGB, sehingga membuktikan bahwa lahan tersebut masih di manfaatkan sesuai dengan peruntukannya.

Rozak mengatakan dalam perkara Perseroan mengingatkan kepada pemerintah kota Palu untuk tidak mengambil Langkah-langkah tanpa aturan hukum terhadap tanah HGB.

“Karena jika itu dilakukan maka sebagai negara hukum kami akan mengambil Langkah-langkah hukum terhadap hal tersebut, baik pidana maupun perdata,” tutup Syahlan yang juga Dekan hukum pada Universitas Abdul Aziz Lamadjido.

Bahkan, kata Rozak, kedua perusahaan ini telah menyumbangkan 35 hektar tanah untuk pembangunan HUNTAP, dan menyumbangkan lahan untuk pembangunan markas Polda Sulteng. *

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *