Ditanya apakah ada unsur intimidasi terhadap korban? Kajari mengaku menyerahkan asumsi itu kepada masyarakat.
“Kalau tidak kenapa -kenapa, kenapa harus lari. Sesuatu yang janggal, kenapa kok PH menghadirkan dan harusnya koordinasi ke JPU. Pada saat korban menarik, kami tegas menolak keterangan itu karena agendanya bukan lagi pembuktikan sudah lewat,” jelasnya.
Pada akhirnya lanjut Kajari, majelis hakim menyatakan bahwa terdakwa tidak terbukti bersalah.
“Nah, ini yang jadi masalah karena ada bukti dan saksi lain yang melihat kejadian perbuatan terdakwa terhadap korban,” paparnya.
Kejanggalan lain tambah Kajari, bahwa dalam persidangan orang tua korban mengaku tidak bisa berbahasa Indonesia dan hanya bisa bahasa Bugis. Sehingga pada saat persidangan, pihak pengadilan menghadirkan penerjemah.
“Tapi faktanya dalam video yang diperlihatkan masyarakat kepada kami saat aksi unjuk rasa, orang tua korban ternyata bisa bahasa Indonesia,” ungkapnya Kajari.
Namun begitu pihaknya ucap Kajari menghormati putusan pengadilan. Tetapi akan ada langkah Kejaksaan untuk melakukan upaya hukum terkait putusan itu agar bisa diperiksa kembali oleh Mahkamah Agung.
Karena sepengatahuan Kajari, dalam sistem tata acara yang biasa dijalankan, yang namanya proses tuntutan itu sebenarnya proses pembuktian sudah selesai.
“Ini agendanya terbalik walau hak majelis untuk itu. Tapi ini tidak biasa. Bagaimana kami JPU untuk bisa mengajukan tuntutan lagi. Kami tidak sependapat dengan proses itu. Makanya kami akan ajukan kasasi,” pungkasnya. (yohanes)