Setelah tiga kali dipanggil, kata Kajari, korban ternyata belum juga ditemukan. Maka pihaknya harus mengejar waktu persidangan yang telah dijadwalkan untuk segera mengajukan pembacaan perkara ke majelis hakim
Albert menjelaskan dalam BAP penyidik kepolisian, korban sudah bersumpah dan dengan jelas mengaku telah mengalami unsur persetubuhan atau pencabulan sebagaimana BAP.
“Setelah diajukan dan BAP dibacakan, awalnya majelis hakim setuju. Meski terdakwa menyangkal. Namun ada beberapa bukti lain yang disiapkan baik saksi yang melihat dan bukti surat lainnya,” ungkap Albert.
Ia melanjutkan, proses kemudian berlanjut pada pengajuan tuntutan dengan sejumlah alat bukti. Saksi dan keterangan korban yang tidak dibacakan dan terdakwa dituntut 12 tahun. Setelah itu, proses berjalan seperti biasanya. Dimana terdakwa mengajukan pledoi dan dijawab JPU melalui replik lalu dijawab lagi dengan Duplik.
“Ini masalahnya, begitu terdakwa mengajukan duplik, sebenarnya dalam persidangan, itu proses pembuktian sudah selesai. Saksi dan alat bukti. JPU telah membaca tuntutan karena semua pembuktian itu ada dalam surat tuntutan.
Pada saat Duplik, terdakwa dan kuasa hukum tiba-tiba mengajukan kepada majelis untuk menghadirkan korban dalam persidangan,” urainya.
Berikutnya adalah, lanjut Dia, setelah JPU membacakan tuntutan dengan mamasukkan pertimbangan, keterangan korban yang sudah disumpah oleh penyidik saat pemeriksaan. Kuasa hukum tiba-tiba memohon kepada majelis hakim untuk menghadirkan korban.
Pada saat pengacara menghadirkan korban, sebenarnya pihak JPU beber Kajari menolak. Karena ini sudah masuk pada tahap agenda pembelaan. Majelis saat itu juga langsung mengagendakan pembacaan putusan.
“Saat kita ajukan penolakan terhadap keterangan korban. Karena saat memberi keterangan, korban menarik semua keterangan dalam BAP. Dengan mengatakan dia tidak pernah mendapat perlakuan yang disangkakan terhadap terdakwa. Tapi saat itu korban posisinya menangis seperti ketakutan,” ungkap Kajari lagi.
Ditanya apakah ada unsur intimidasi terhadap korban? Kajari mengaku menyerahkan asumsi itu kepada masyarakat.
“Kalau tidak kenapa -kenapa, kenapa harus lari. Sesuatu yang janggal, kenapa kok PH menghadirkan dan harusnya koordinasi ke JPU. Pada saat korban menarik, kami tegas menolak keterangan itu karena agendanya bukan lagi pembuktikan sudah lewat,” jelasnya.
Pada akhirnya lanjut Kajari, majelis hakim menyatakan bahwa terdakwa tidak terbukti bersalah.
“Nah, ini yang jadi masalah karena ada bukti dan saksi lain yang melihat kejadian perbuatan terdakwa terhadap korban,” paparnya.
Kejanggalan lain tambah Kajari, bahwa dalam persidangan orang tua korban mengaku tidak bisa berbahasa Indonesia dan hanya bisa bahasa Bugis. Sehingga pada saat persidangan, pihak pengadilan menghadirkan penerjemah.
“Tapi faktanya dalam video yang diperlihatkan masyarakat kepada kami saat aksi unjuk rasa, orang tua korban ternyata bisa bahasa Indonesia,” ungkapnya Kajari.
Namun begitu pihaknya ucap Kajari menghormati putusan pengadilan. Tetapi akan ada langkah Kejaksaan untuk melakukan upaya hukum terkait putusan itu agar bisa diperiksa kembali oleh Mahkamah Agung.
Karena sepengatahuan Kajari, dalam sistem tata acara yang biasa dijalankan, yang namanya proses tuntutan itu sebenarnya proses pembuktian sudah selesai.
“Ini agendanya terbalik walau hak majelis untuk itu. Tapi ini tidak biasa. Bagaimana kami JPU untuk bisa mengajukan tuntutan lagi. Kami tidak sependapat dengan proses itu. Makanya kami akan ajukan kasasi,” pungkasnya. (yohanes)