Palu,voxsulteng.com– Jaksa Agung RI, Burhanuddin,SH,MH dalam arahannya, yang diikuti oleh Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) Sulawesi Tengah (Sulteng) dan unsur pimpinan Kejati Sulteng beserta seluruh jajaran pidum di satker Se-Sulteng, mengatakan, rasa keadilan tidak ada di dalam buku tetapi ada di dalam hati nurani.
Selanjutnya, Jaksa Agung RI kembali menekankan kepada seluruh jajaran, agar hati nurani menjadi pertimbangan setiap pegawai kejaksaan dalam mengambil keputusan, penerapan hukum berdasarkan hati nurani merupakan suatu kebutuhan.
“Sebagai contoh kasus nenek Minah yang mengambil 3 buah kakao dan kakek samirin yang memungut getah karet senilai Rp17.000 menunjukan bahwa tidak semua perkara harus berakhir di pengadilan,” kata Burhanuddin, dalam arahan Rakernis Bidang Pidum, secara daring.
Maka, lanjut Burhanuddin, untuk menghindari perkara kecil seperti nenek Minah dan kakek Samirin berlanjut ke Pengadilan, Kejaksaan mengeluarkan Peraturan Jaksa Agung Nomor 15 Tahun 2020 Tentang Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif.
Merujuk Perja No.15 Tahun 2020, katanya, definisi keadilan restoratif, yaitu penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban dan pihak lain yang terkait, untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula dan bukan pembalasan.
“Penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif dilaksanakan dengan asas keadilan, kepentingan umum, proporsionalitas, pidana sebagai jalan terakhir dan cepat, sederhana, serta biaya ringan,” jelasnya.
Selain itu, kata dia, penuntut umum berwenang menutup perkara demi kepentingan hukum bila memenuhi syarat, terdakwa meninggal dunia, kedaluwarsa penuntutan pidana, telah ada putusan pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum tetap terhadap seseorang atas perkara yang sama (nebis in idem), pengaduan tindak pidana aduan dicabut atau ditarik kembali, atau telah ada penyelesaian perkara di luar pengadilan (afdoening buiten process).
“Maka, untuk menghentikan penuntutan berdasarkan keadilan restoratif, jaksa perlu mempertimbangkan sejumlah hal, Misalnya, subjek, objek, kategori, ancaman tindak pidana, latar belakang terjadinya tindak pidana tingkat ketercelaan, kerugian atau akibat yang ditimbulkan dari tindak pidana, cost and benefit penanganan perkara, pemulihan kembali pada keadaan semula serta adanya perdamaian antara Korban dan tersangka.
“Adapun syarat perkara bisa ditutup demi hukum atau dihentikan penuntutannya berdasarkan keadilan restoratif. Pertama, tersangka baru pertama kali melakukan tindak pidana. Kedua, tindak pidana hanya diancam dengan pidana denda atau diancam dengan pidana penjara tidak lebih dari 5 tahun. Ketiga, tindak pidana dilakukan dengan nilai barang bukti atau nilai kerugian yang ditimbulkan akibat dari tindak pidana tidak lebih dari Rp2,5 juta,” cetusnya.***
Penulis/editor: RH/Yohanes