Parigi, VoxNusantara,- Direktur LSM Forum Masyarakat Transparansi (FORMAT), Isram Said Lolo (ISL), meragukan pernyataan Bupati Parigi Moutong, Erwin Burase, yang menuding adanya dugaan sabotase terhadap surat resmi Bupati Nomor 600.3.1.1/4468/Dis.PUPR perihal Rekomendasi Tata Ruang tentang Usulan Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR).
Dalam surat itu, Bupati menyebut hanya ada 16 titik usulan wilayah tambang, namun kemudian berubah menjadi 53 titik pada lampiran surat yang beredar.
Menurut ISL, tudingan Bupati tersebut tidak masuk akal dan patut diragukan kebenarannya. Ia menilai sistem kontrol administrasi dan tata kelola surat keluar di Pemerintah Kabupaten Parigi Moutong telah teruji dan berjalan ketat selama puluhan tahun pemerintahan, sehingga sangat kecil kemungkinan terjadi sabotase tanpa sepengetahuan kepala daerah.
“Ini daerah usianya sudah puluhan tahun dan sudah gonta-ganti pemimpinnya. Sistem kontrol surat keluar pun sudah teruji, tertata dengan baik, dan cukup ketat. Birokrasinya berjenjang dari bawah sampai di meja Bupati. Jadi mohon maaf, saya kurang percaya jika ada istilah khilaf apalagi dugaan sabotase,” ujar ISL.
ISL menjelaskan, sistem administrasi pemerintahan memiliki rantai birokrasi berlapis sebelum surat resmi sampai ke meja Bupati. Karena itu, pernyataan bahwa perubahan jumlah titik WPR bisa terjadi tanpa sepengetahuan kepala daerah dinilai tidak logis dan bertentangan dengan mekanisme kerja pemerintahan.
“Dalam pernyataan Bupati disebutkan bahwa 16 titik yang ia tandatangani telah melalui proses rapat dengan semua pihak terkait, termasuk Wakil Bupati. Jadi sangat tidak mungkin ada orang di bawah Bupati yang berani mengubah keputusan itu tanpa diketahui. Perbuatan seperti itu sangat berisiko dan berkonsekuensi hukum,” jelasnya.

Lebih lanjut, ISL menyebut apabila memang benar terjadi perubahan isi lampiran surat resmi Bupati, maka hal itu menunjukkan bobroknya sistem administrasi di lingkup Pemerintah Daerah. Ia juga menduga Bupati kurang memahami ketentuan dan tata cara penyusunan surat resmi pemerintahan.
“Bupati harusnya tahu bahwa setiap lampiran surat resmi yang memuat data penting wajib disertakan tanda tangan Bupati. Tapi anehnya, lampiran surat yang memuat jumlah titik lokasi WPR itu justru tidak ditandatangani. Kalau Bupati paham administrasi, tentu beliau bertanya mengapa lampiran surat tidak ditandatangani, bukan langsung main tanda tangan,” tegasnya.
ISL menambahkan, pentingnya tanda tangan pada lampiran surat resmi bersifat vital dan wajib, agar tidak ada celah bagi siapapun untuk mengubah isi surat.
“Lampiran surat yang berisi data penting wajib ditandatangani pimpinan agar tidak bisa diubah oleh siapapun. Ini prinsip dasar administrasi pemerintahan,” imbuhnya.
Sebagai Ketua Dewan Pimpinan Wilayah Penguatan Ekonomi Kerakyatan Nasional (PEKNAS) Provinsi Sulawesi Tengah, ISL juga menduga bahwa alur birokrasi surat keluar tidak berjalan sebagaimana mestinya. Ia menilai surat usulan perubahan WPR tersebut kemungkinan tidak melalui meja Biro Hukum Pemerintah Daerah Parigi Moutong, padahal biro itu memiliki fungsi penting dalam pengawasan produk hukum di lingkungan pemerintah daerah.
Menurutnya, hal ini terbukti dari sejumlah kelemahan surat yang ditandatangani Bupati, di antaranya tidak mencantumkan tanggal pembuatan surat dan tidak adanya tanda tangan Bupati pada lampiran berisi data penting.
Terkait tuduhan Bupati soal dugaan sabotase, ISL menantang agar Bupati segera memproses hukum persoalan tersebut dengan membuat laporan resmi ke kepolisian atas dugaan pemalsuan dokumen sebagaimana diatur dalam Pasal 264 KUHP tentang pemalsuan surat.
“Kalau memang benar ada sabotase, Bupati harus melapor ke polisi atas dugaan pemalsuan dokumen dengan maksud menipu. Ini menyangkut integritas pemerintahan,” tegas ISL.
ISL menilai, persoalan ini telah menimbulkan kegaduhan dan keresahan di masyarakat, serta dapat menurunkan kepercayaan publik terhadap Pemerintah Daerah Parigi Moutong. *