Sigi,voxnusantara.com- Sulitnya mendapat pasokan kebutuhan material kayu berkualitas, serta serta hasil kayu gergajian (somel,red) yang tidak sesuai dengan ukuran sebenarnya, menjadi suatu alasan terbentuknya Asosiasi Pengusaha Industri Mebel (Aspim) di wilayah Provonsi Sulawesi Tengah (Sulteng).
“Untuk saat ini, kami masih merampungkan beberapa dokumen resmi lainnya. Namun keanggotaan kami di Sulteng telah mencapai setengah dari jumlah industri mebel yang ada di Sulteng yang diperkirakan mencapai ribuan pelaku usaha. Kami masih terfokus, untuk wilayah Kabupaten Sigi, Donggala dan Kota Palu,” kata Ismail, selaku koordinator Aspim Sulteng kepada Vox Nusantara, Sabtu (28/05) hari ini.
Dikatakannya, pemenuhan kebutuhan untuk industri mebel di Sulteng, masih saja terkendala dengan kurangnya pasokan bahan baku kayu dari Pabrik Somel resmi yang ada di Sulteng. Hal inipun, mengakibatkan, terkadang para pelaku usaha mebel, dengan terpaksa menerima atau membeli kayu olahan (gergajian/irisan,red) dari sejumlah masyarakat lokal (tukang sensor,red) yang belum mengantongi izin secara resmi.
“Hal ini disadari, telah melanggar aturan hukum yang berlaku, namun penyebab utamanya itu tadi, somel – somel resmi lebih banyak menjual kayu olahannya ke luar daerah Sulteng, ketimbang pada kami pengusaha mebel di wilayah Sulteng. Sementara, kami saja sulit untuk memenuhi pesanan dalam daerah, khususnya Palu, Sigi dan Donggala, akibat bahan baku kayu kurang,” ungkap Ismail, berkeluh tentang sikap Pabrik Somel kayu, yang lebih mengutamakan penjualan ke luar daerah Sulteng.
Seharusnya, tambahnya, dengan kekayaan sumber alam (Kayu,red) di Sulteng, kebutuhan industri mebel yang ada, dapat terpenuhi.
Tak hanya soal kekurangan bahan baku. Aspim juga akan menyoalkan, tentang ukuran – ukuran kayu yang diberlakukan oleh pihak Somel. Sebab selama ini, selaku konsumen dari Pabrik Somel, mereka merasa begitu dirugikan.
“Kita tahu bersama, bahwa kayu yang beredar di Sulteng, khususnya Palu, ukurannya tidak sesuai dengan sebenarnya. Saya contohkan, ukuran di pengecer kayu yang biasanya dibeli 5 x 5 cm, kenyataannya hanya berkisar 4 x 4 cm. Ini jelas – jelas merugikan, apakah memang ada aturan hukumnya tentang itu,” tuturnya kesal.
Kenyataan yang ada, lanjutnya, bila konsumen menginginkan ukuran yang sesuai, maka pihak Pabrik Somel pun membandrol harga lebih mahal dari biasanya yang hanya berkisar Rp 2.700.000,-, maka akan dinaikkan lagi harganya.
“Ini juga berdampak pada masyarakat yang membutuhkan hasil produksi mebel. Untuk itu, kami merasa perlu membentuk Aspim, agar masyarakat yang juga menjadi konsumen hasil olahan kayu dapat menikmati perjuangan kami, yakni mendapat kayu olahan yang ukurannya sesuai. Jadi harusnya, kalau dibilang ukurannya 5 x 5 cm, ya harus benar seperti itu. Begitu pula ukuran lainnya,” tegas Ismail.
Setelah proses dokumen Aspim telah rampung dan resmi secara dikeluarkan oleh instansi terkait, Ismail menegaskan, pihaknya akan segera menggelar pertemuan dengan Pemerintah setempat, serta para pelaku pengusaha Somel yang ada dengan melibatkan aparat hukum setempat.
“Selain itu, Aspim juga akan terus bergerak dalam pemberdayaan sumber daya manusia (SDM), yakni merekrut para tenaga kerja serta memberikan ilmu keterampilan dalam bidang pertukangan kayu (mebel,red),” katanya mengakhiri.***