Dr. Ketut Sumedana
Akademisi dan Praktisi Hukum
Jakarta, voxnusantara.com – Pada bagian penjelasan umum alinea ke-4 Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang RI Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menjelaskan:
Perekonomian Negara adalah kehidupan perekonomian yang disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan ataupun usaha masyarakat secara mandiri yang didasarkan pada kebijakan Pemerintah, baik ditingkat pusat maupun di daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang bertujuan memberikan manfaat, kemakmuran, dan kesejahteraan kepada seluruh kehidupan rakyat.
Banyak yang menilai penjelasan pasal tersebut melanggar prinsip Lex scripta (tertulis), Lex stricta (tidak multitafsir) dan Lex certa (jelas).
Hal ini mengilhami Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 25/PUU-XIV/2016 yang dalam amar putusannya menghilangkan frasa “dapat” pada Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang menjadikan kualifikasi delik korupsi dimaknai menjadi delik materiil maka kerugian keuangan negara / kerugian negara harus benar-benar sudah terjadi atau nyata (actual loss).
Aspek hukum yang dianut dalam putusan Mahkamah Konstitusi tersebut adalah hanya terkait dengan kepastian hukum dan hanya melihat satu sisi kerugian yang dapat dihitung tidak secara holistik melihat dari sisi keadilan serta manfaat daripada tujuan hukum itu sendiri.
Bahkan dalam penegakan hukum di negara maju, aspek manfaat menjadi suatu sangat vital, terlebih dampak korupsi itu sendiri adalah mengebiri hak-hak ekonomi masyarakat, bahkan dalam menilai suatu kerugian dilihat dari manfaat ekonominya.
Beberapa Negara telah melakukan perampasan aset korporasi menjadi bagian dari ganti rugi dan pelacakan aset (asset tracing), dan beberapa Negara juga sudah mulai menerapkan denda maksimal dari jumlah kerugian yang ditimbulkan, bahkan di Negara yang menganut sistem sosialis lebih ekstrim lagi yaitu melakukan nasionalisasi terhadap aset dan korporasi yang melawan atau melanggar program pemerintah.
Secara historis, undang-undang mengenai tindak pidana korupsi termasuk dalam lingkup tindak pidana ekonomi atau sering disebut sebagai tindak pidana khusus, oleh karena korban dan yang dirugikan adalah negara sebagaimana dalam undang-undang pertambangan, kehutanan, kelautan, lingkungan dan lainnya, sehingga rumpun tindak pidana tersebut tidak hanya terkait dengan kerugian Negara tetapi hajat hidup orang banyak yang berdampak pada multidimensi seperti kelangkaan bahan pokok, pengangguran, pendapatan per kapita, inflasi, dan hal lainnya yang menimbulkan keresahan di dalam masyarakat luas.
Bahkan berdampak meluas menjadi krisis kepercayaan kepada pemerintah dan Negara, yang pelakunya hanya mementingkan diri sendiri tanpa memikirkan kepentingan masyarakat luas, dan bahkan kebijakan Negara atau pemerintah tidak mampu menghadapinya karena telah terkolaborasi dalam tubuh birokrasi dan kebijakan yang dikeluarkan sudah tentu akan menguntungkan kelompok dan golongannya.
Untuk itu, menjadi suatu bahan pemikiran kita bersama bahwa unsur perekonomian Negara tidak bisa disamakan dengan perkiraan (potential loss), akan tetapi kerugian tersebut telah nyata adanya dan dirasakan oleh masyarakat luas sehingga menjadi _real loss / actual loss.
Bahkan dalam kasus tertentu, korupsi dikatakan ekologis kerugiannya bisa menjadi kerugian yang turun temurun seperti polusi, kerusakan lingkungan dan menurunnya kesehatan masyarakat di sekitarnya, dan lainnya karena sulitnya ganti rugi rehabilitasi lingkungan diterapkan sehingga dampak yang luas tersebutlah yang menyebabkan tindak pidana korupsi dikatakan sebagai extraordinary crime disejajarkan dengan kejahatan kemanusian lainnya.
Pemberantasan tindak pidana korupsi tidak dapat dilakukan dengan cara-cara konvensional karena terjadi secara masif dan terstruktur dalam suatu birokrasi pada tingkat bawah sampai tingkat atas dan melintasi batas-batas negara dengan modus yang semakin canggih sehingga menyebabkan bargaining (proses tawar-menawar) antar negara di level internasional menjadi lemah dikarenakan investor takut menjadi ladang bajakan birokrasi.
Untuk itu, aparat penegak hukum tidak hanya menyeret pelaku tindak pidana secara perorangan tetapi juga harus menyeret korporasi sebagai pelaku tindak pidana, dikarenakan korporasi dapat dijadikan alat sebagai tempat melakukan tindak pidana dan sebagai tempat pencucian uang sehingga orang dan korporasi juga dapat dikenakan tindak pidana pencucian uang (money laundering), dan hal yang paling penting dan mendesak adalah perjanjian bilateral dan multilateral sangat diperlukan untuk saat ini dalam rangka mengantisipasi aliran dana korupsi keluar negeri, perampasan aset koruptor di luar Negeri dan pemulangan koruptor yang bersembunyi di luar Negeri sehingga tidak ada lagi tempat bersembunyi dan tempat menyembunyikan harta benda pelaku di luar negeri serta pemulihan aset (asset recovery) menjadi lebih mudah bagi aparat penegak hukum sebelum Rancangan Undang-Undang tentang Perampasan Aset Tindak Pidana disahkan karena selama ini pemulihan aset (asset recovery) sangat sulit dilakukan ketika sudah lintas negara disebabkan kebijakan hukum di berbagai negara yang berbeda-beda.
Hal ini juga terkait dengan kepentingan Negara tersebut, maka dengan demikian baik itu unsur kerugian Negara maupun perekonomian Negara sama-sama mengakibatkan kerugian secara riil dan aktual, titik sentralnya kerugian hanya dalam lingkup Negara sedangkan perekonomian sudah lingkup multidimensi sosial, ekonomi masyarakat luas.***