Gugat Jalan Nasional Rusak dan Kebijakan Gubernur Yang Harus Merata
VoxNusantara.com,Palu- Persatuan Mahasiswa Morowali dari sejumlah kampus di Kota Palu menggelar aksi unjuk rasa di depan Kantor Gubernur Sulawesi Tengah (Sulteng) dan Kantor DPRD Sulteng, pada Selasa, 17 Desember 2025. Aksi ini membawa satu tuntutan utama: “Morowali Bukan Anak Tiri Pembangunan.”
Dari pantauan media ini, nampak aksi saling dorong antara masa aksi dan aparat keamanan sempat terjadi diakibatkan tidak dibukanya pintu gerbang DPRD Sulteng dan tak hadirnya perwakilan anggota DPRD Sulteng.
Mahasiswa menilai ketimpangan pembangunan di Kabupaten Morowali sudah berlangsung lama dan terus dibiarkan meski daerah tersebut menjadi tulang punggung ekonomi Sulawesi Tengah.

Dalam aksinya, mahasiswa menyoroti paradoks pembangunan yang terjadi di Morowali. Di satu sisi, aktivitas industri dan pertambangan nikel berjalan masif dan menyumbang pendapatan besar bagi daerah. Namun di sisi lain, masyarakat lokal justru harus hidup dengan infrastruktur rusak, lingkungan tercemar, dan akses dasar yang semakin memburuk.
Morowali disebut sebagai contoh paling nyata dari pembangunan yang timpang. Sungai dan hutan tergerus aktivitas tambang, sementara jalan-jalan utama justru hancur, khususnya di Kecamatan Bahodopi. Sejumlah ruas jalan nasional di wilayah tersebut dilaporkan rusak parah akibat lalu lintas kendaraan berat industri, namun penanganannya dinilai tidak pernah tuntas.
Mahasiswa secara terbuka mengkritik Balai Pelaksanaan Jalan Nasional (BPJN) Sulawesi Tengah. Kebijakan yang diterapkan sejak awal dinilai gagal menyelesaikan persoalan, karena perbaikan hanya bersifat tambal sulam tanpa solusi permanen, tanpa pembatasan kendaraan berat, dan tanpa mempertimbangkan dampak lingkungan.
Koordinator lapangan aksi, Rar, dalam orasinya menegaskan bahwa Morowali selama ini hanya dijadikan objek eksploitasi sumber daya alam.
“Morowali ini bukan daerah miskin. Morowali kaya, tapi rakyatnya dibuat menderita. Nikel diangkut setiap hari, PAD naik, tapi jalan nasional di Bahodopi hancur dan dibiarkan. Kami bertanya, di mana keadilan itu?” tegas Rar.
Ia juga menilai kinerja BPJN Sulawesi Tengah tidak berpihak pada masyarakat terdampak industri.
“Jalan rusak ini bukan baru kemarin. Bertahun-tahun dibiarkan. Perbaikan tambal sulam tidak menyelesaikan masalah. Kalau ini disebut pembangunan, maka ini pembangunan yang menindas. BPJN Sulteng harus bertanggung jawab,” lanjutnya.
Kekecewaan mahasiswa semakin menguat setelah DPRD dan Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah menyetujui Proyek Multiyears 2026–2028 senilai Rp604,8 miliar untuk pembangunan jalan di sejumlah kabupaten seperti Sigi, Poso, Tolitoli, Banggai, Banggai Kepulauan, Buol, dan Morowali Utara. Kabupaten Morowali justru tidak masuk dalam daftar prioritas, meski disebut sebagai penyumbang hampir 60 persen PAD provinsi.
Mahasiswa menilai alasan kewenangan pusat tidak bisa terus dijadikan dalih. Mereka mempertanyakan peran dan keberpihakan pemerintah provinsi dalam memperjuangkan hak masyarakat Morowali, termasuk sikap politik Gubernur Sulawesi Tengah yang pernah memimpin daerah tersebut.
Dalam aksi itu, mahasiswa menyampaikan tuntutan tegas, di antaranya:
1. Memasukkan Kabupaten Morowali dalam Proyek Multiyears 2026–2028.
2. Mengevaluasi total kebijakan BPJN Sulawesi Tengah terkait penanganan jalan nasional di Morowali, khususnya di Bahodopi.
3. Membuka secara transparan dana CSR perusahaan serta merevisi regulasi CSR yang dinilai tidak berpihak pada rakyat.
4. Melakukan evaluasi serius wilayah pasca tambang dan reboisasi nyata.
5. Mengevaluasi seluruh program PT IMIP yang berdampak langsung pada lingkungan dan kehidupan sosial masyarakat.
6. Memberdayakan masyarakat lokal agar tidak hanya menjadi penonton di tanah sendiri.
7. Menghentikan penggunaan sungai induk untuk kepentingan perusahaan yang merusak ekosistem dan sumber hidup rakyat.
Menutup orasinya, Rar menegaskan bahwa aksi turun ke jalan ini bukan didorong oleh kebencian, melainkan cinta terhadap Morowali dan masa depan Sulawesi Tengah.
“Morowali bukan mesin PAD. Morowali adalah rumah kami. Kami tidak menuntut lebih, kami hanya menuntut keadilan,” pungkasnya.**
Penulis: Yohanes











